Langsung ke konten utama

Jawara

Aku tidak pernah kalah, aku benci kalah. Aku tidak boleh lari. Mereka cuman berlima. Sebelum ini aku pernah menjatuhkan 10 orang tanpa terkena pukulan sekali pun. Walaupun fisik dan kemampuan mereka tidak sepadan jika dibanding 3 orang yang yang berdiri didepan ku sekarang. 2 orang lain, bisa ku bilang tidak masuk hitungan, dari cara berdirinya terlihat jelas cuman sekedar petarung jalanan, masih amatir, bagiku mereka berdua tidak lebih dari tukang palak di gang kecil. Salah satunya malah terlihat cukup tua, kakinya gemetaran memasang kuda-kuda. Aku heran kenapa Risko memilihnya menjadi anggota.

Aku mengenal mereka semua, setidaknya dari desas-desus yang sampai ke telinga ku ditambah informasi yang ku dapat dari adik ku. Dia seorang polisi, semasa hidupnya, dia selalu menceritakan kasus yang sedang dia tangani. Tidak ada rahasia yg dia sembunyikan dari ku.

Diantara mereka berlima, yang bertubuh paling besar namanya Key, orang nomor tiga yang paling berpengaruh di kelompoknya. Tingginya mungkin 190cm. jika berdiri sejajar, aku bahkan tidak setinggi telinganya. Dia bukan orang asli sini. Petarung impor dari negeri sebelah. Sudah 15 tahun bersama Risko. Seorang yatim piatu yang di pungut waktu Risko sedang berada negaranya. Dilatih dan di besarkan oleh Risko sendiri.

Selanjutnya Iwan dan Sam. Mereka saudara kembar. Adik kandung sekaligus Tangan Kanan  Risko. Mereka setinggi aku, berotot sperti binaraga kelas ringan. Yang membedakan mereka berdua cuman tatto. Sam hampir seluruh wajahnya ditutupi tatto. Berbeda dengan Iwan yang berwajah bersih dan rapi. Dia yang mengurus semua keuangan di kelompok mereka, dia lah yg bertugas menemui klien yg membutuhkan jasa keamanan. Sedangkan Sam mengurusi bisnis ilegal. Menjual sabu-sabu dan obat terlarang. Bayaran jasa keamanan yg mereka tawari jarang berupa uang. Kebanyakan lebih kepada ijin mengedarkan barang dagangan yang di urusi Sam. Itu kenapa mereka hanya menerima klien dari kelompok pejabat-pejabat pemerintah.

Yang keempat Obed. cuma nama samaran. Diambil dari bahasa Ibrani yg berarti 'melayani'. Dia yang selalu mendampingi Sam. Pendamping setia Sam, dia cukup gila. Di tubuhnya ada beberapa bekas luka tembak. Dia tidak takut mati. Kabar terakhir yg ku dengar, dia berlari ke sebuah lapangan luas, meneriaki kumpulan polisi dengan senjata lengkap yang ingin menyerbu markas mereka. Hanya untuk mengalihkan perhatian, membuat polisi-polisi itu mengejarnya. Beberapa polisi yang sudah memasuki jarak tembak, mengambil posisi. Belum siap menembak, mereka dihujani peluru dari segala arah. Polisi yg tertinggal dibelakang kalang kabut, ada yg berlari mencari tempat sembunyi, ada yang berbalik arah. Terlambat. Mereka gantian
terkepung. Polisi yang tidak ikut mengejar, pun terkepung. Tak ada yang selamat.

Kejadian itu memenuhi berita di televisi dan koran selama sebulan penuh. Entah bagaimana cara mereka bersembunyi. Seperti di sulap, jejak mereka hilang dalam setahun ini. Salah satu diantara polisi itu adalah adik ku.

Sudah setahun aku mencari mereka. Sebenarnya aku sudah menyerah. Jika polisi saja tidak bisa menemukan mereka, bagaimana dengan ku? Sampai hari ini, entah apa yang membawa ku mengunjungi tempat ini. Sebuah lapangan luas, dibelakang markas mereka. Tempat adik ku mati dengan luka tembak tepat di leher dan kepalanya.

Aku cuman orang kampung, yang menghabiskan waktunya untuk berkebun. Aku ingat sekali, setelah bapak mati, adikku meminta ijin  mengikuti tes masuk polisi di kota. Awalnya aku tak mengijinkan, selain tak punya uang. Aku dan adik ku adalah orang yg mewarisi kemampuan silat yg turun temurun di ajari dalam keluarga kami. Salah satu sumpah yang pernah kami ikrarkan adalah "dalam kondisi apapun haram untuk bertarung menggunakan senjata apa saja, lebih baik mati dalam pertarungan dari pada menang dengan senjata" sumpah ini sebenarnya berfungsi agar kami sebisa mungkin menjauhkan diri dari pertarungan. Jika ada kesempatan untuk tidak terjerumus dalam bentrokan fisik, walaupun itu harus berlari, sebaiknya mengambil kesempatan itu. Pertarungan hanya boleh terjadi saat nyawa kami jadi taruhan.

Dia bersikeras untuk jadi polisi, dengan alasan bahwa janji itu hanya berlaku bagi mereka yang lulus latihan dan sudah di ijinkan secara adat keluarga untuk menggunakan ilmunya saat dibutuhkan. Walaupun sebenarnya secara teori dan praktek dia sudah menyelesaikan semua itu, kekurangannya hanya pada ritual akhir setelah hatam. Yaitu meneteskan jeruk nipis lewat pisau kecil kedalam kedua mata. Ritual ini belum diberikan padanya karena ayah jatuh sakit dan meninggal beberapa hari kemudian. Aku mengalah, dia jadi polisi tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.

Melewati jalan kecil diantara gedung tujuh lantai yang memang terlihat di desain agar terkesan tua ini, tepat di belakangnya, ada lapangan luas tempat adik ku menarik nafas terakhirnya. Rumput setinggi lutut memenuhi hampir seluruh lapangan ini. Aku menyisir pinggir lapangan, selain gedung, lapangan ini dikelilingi hutan belantara. Tempat yang memang sangat bagus untuk bersembunyi. Tidak ada gedung lain disini. Tempat ini cuman berjarak 10 km dari kota. Aku kagum dengan keberanian Risko. Membangun markas di tempat seperti ini butuh keberanian yg besar. Dan mereka bisa bertahan lebih dari 10 tahun sampai ada sekelompok polisi yang berani menantang mereka.

Aku mulai menyisir pinggir lapangan. Celana kain panjang warisan dari bapak ku gulung setinggi lutut. Aku tidak tau kenapa aku harus repot-repot kesini. Belum separuh putaran lapangan, aku mendengar suara beberapa orang yg sedang mengobrol. Akibat rumput yg tinggi aku tidak bisa melihat mereka. Ku percepat langkah, suara kaki ku yang bergesekan dengan rumput membuat mereka berdiri. Ada 5 orang. Aku ingat sekali wajah masing-masing dari mereka.

Selain menceritakan kasus yg sedang ditangani, adik ku juga selalu mengirimkan Foto-foto orang yg diburunya. Sekedar untuk mendengar masukan ku soal cara menangani lawan dengan fisik-fisik tertentu. Kelima orang yg sekarang berdiri dihadapan ku juga termasuk orang yang fotonya dikirim kepadaku. Aku kenal mereka, aku tau gaya bertarung mereka, kecuali salah satu diantaranya yang menurut adikku cuman sekedar pesuruh di kelompok ini. Namanya Rama.

Seseorang mendekati ku. Obed. Kepalanya yg pelontos menambah kesan sangar. Dengan bertelanjang dada, mungkin untuk memamerkan bekas luka tembak di tubuhnya. "kamu siapa? Ngapain kesini?" aku tidak menjawab. "apa yg dikerjakan polisi setahun ini? Kemana mereka mencari kelompok ini?", pikiran ku melayang kemana-mana.

Obed mendekati ku, jaraknya sekarang cukup untuk memukul ku. Aku masih diam. Didekatkan kepalanya, "hei jawab!!! Kamu si..."  belum selesai teriakannya, aku bergerak sedikit kekiri. Sejurus kemudian, lutut ku sudah menyerang perutnya. Dia tertunduk. Tak mau menghabiskan waktu, siku kanan ku, mendarat tepat di lehernya. Dari awal dia memang tidak siap dengan serangan ku. Hanya 3 detik dia sudah terjatuh. Tapi gerakannya cepat. Seolah tidak kesakitan, bersiap bangun dan menyerang. Kepalanya baru saja berbalik ke arahku, mungkin belum sempat melihat wajah ku, kaki kanan ku sudah lebih dulu ku jatuhkan di lehernya. Dia tak sadarkan diri. Sesuai informasi yg ku dapat, dia cuma bermulut besar.

Sekarang tersisa 4 orang. Jarak mereka dengan ku cuman 5 langkah. Iwan berada tepat dihadapan ku, Sam disebelah kirinya dan Key berdiri disebelah kanan.  Melihat Obed tak sadarkan diri, mereka bertiga langsung gelagapan menyerang, ekspresi kaget dan marah terlihat jelas di wajah mereka bertiga. Rama seperti mematung, diam tak bergerak sedikitpun.

Aku tidak mungkin melawan mereka bertiga di tempat dengan tinggi rumput selutut ini. Sambil berlari menjauh, pandangan ku menyisir lapangan ini. Mencari tempat yang memungkinkan untuk bergerak lebih bebas. Iwan berhenti sejenak melihat keadaan Obed, Sam dan Key terus mengejar. Ini keuntungan buat ku, walaupun cuman sebentar, Iwan yg berhenti, tertinggal 4 langkah dari sam dan 7 langkah dari Key yang memang memiliki postur paling tinggi diantara mereka.

Setelah mengalahkan Obed, aku memang berniat menyerang Key lebih dulu. Jangkauan serangannya akan menyulitkan ku jika harus bertarung melawan 3 orang sekaligus.

Setelah menemukan tempat yg cocok, aku berbalik arah. Menyambut Key yg sudah bersiap menyerang. Aku harus bisa sedekat mungkin dengannya. Pertarungan jarak dekat adalah satu-satunya solusi untuk mengalahkan orang yg jauh lebih tinggi dari ku.

Setelah dirasa cukup dekat, Key menyerang ku, Jump Kick, atau dalam istilah taekwondo Ttwieo Chagi - Tendangan melompat. Tenaganya yg besar membuat lompatannya sangat tinggi. Sejajar dengan tinggi badan ku. Aku menunduk, kedua tangan ku menyentuh tanah. Tendanganya meleset, aku punya kesempatan untuk menjatuhkannya. Aku yang masih berada tepat di bawahnya memanfaatkan kesempatan itu, ku arahkan serangan menggunakan kaki kanan, menyasar bagian belakang pahanya. Tak perlu mengeluarkan banyak tenaga. Aku hanya akan mengganggu keseimbanganya saat mendarat. Serangan ku mengenai sasaran. Key yang tidak siap, langsung terjatuh. Mendarat tidak sempurna. "brukkkk" suara jatuhnya menutupi suara tangan kirinya yg terkilir.

Dia jelas masih bisa bertarung. Bagi petarung seperti Key, kedua tangannya lebih banyak difungsikan sebagai tameng. Walaupun masih bisa menyerang ku dengan kekuatan penuh, setidaknya kejatuhannya tadi membuka satu tameng disebelah kiri. Selama aku bisa mendekatinya, menutup jarak serangannya, dia tidak akan bisa mengalahkan ku.

Sekejap saja setelah Key terjatuh, aku belum merubah posisi saat tendangan kaki kanan Sam sudah berjarak beberapa centi dari wajah ku. Aku sudah siap dengan kemungkinan ini. Masih sempat menurunkan kaki kanan, ku dorong seluruh tubuh ku sekuat tenaga untuk menghindari serangan Sam. Berhasil menghindar, Iwan sudah bersiap memukul ku.

Key harus kalah lebih dulu sebelum aku mulai melawan Iwan dan Sam. Ku tangkis pukulan Iwan yang menyasar kepala ku. Dia lebih kuat dari yang aku kira. Tangan ku yg menahan laju serangannya, sedikit goyah. Sambil membalikkan badan, aku bersiap mengalahkan Key yg sudah mulai menyerang. Iwan belum sempat melingkari tangannya di tubuhku ketika tendangan Key menghantam wajahnya. Saat itu aku sudah memiringkan sedikit badan membuat Key salah sasaran. Tak mau membuang kesempatan, pukulan ku lepaskan ke dagunya, Key goyang. Belum jatuh. Ketika  kedua tangan ku  secara beruntun memukul bagian depan badannya. Kedua bagian tulang rusuk, perut, ulu hati dan satu pukulan terakhir di dagunya. Key rubuh, kehilangan kesadaran bahkan sebelum pukulan terakhir ku layangkan.

Sambil terbaring, Iwan memegang wajahnya, masih kesakitan akibat tendangan temannya sendiri. Sam yg sedari tadi menunggu kesempatan menyerang, sudah mendekati ku saat Key masih menerima pukulan ku. Tepat saat Key terjatuh, Sam sudah menyerang ku. Aku menunduk. Walaupun pukulan terfokus pada satu orang, aku harus tetap awas dengan serangan dari yang lainnya.

Tanpa melihat, aku menendang Sam yg berada di belakang ku. dia berteriak kesakitan. Aku menjauh beberapa langkah, menarik napas panjang, menenangkan diri, menikmati kemenangan ku sebentar.

Iwan yg sudah berdiri, dengan emosinya berteriak "kamu siapa?, apa masalah mu dengan kami?" tidak hanya Iwan, wajah Sam pun terlihat sangat marah. Aku tetap diam, tak hiraukan pertanyaannya. Tenaga ku sudah cukup terkuras. Baju ku sudah mulai basah dengan keringat.

Sekarang Iwan dan Sam sudah berdiri sejajar. Andai Iwan tak bertato, mungkin sekarang aku seperti melihat satu orang dengan cermin berukuran besar di sebelahnya. Hampir tak ada yg berbeda, dari tinggi sampai bentuk otot-ototnya. Orang-orang ini memang aneh, lebih suka membesarkan badan dan bermulut besar biar ditakuti dari pada belajar ilmu bela diri, mengurangi bicara tapi disegani.

Melihat ku diam saja, Sam yang terlihat lebih emosional dibandingkan Iwan berlari mendekat. Di ikuti Iwan dibelakangnya. Tangan Iwan seperti sedang mengambil sesuatu dari belakang pinggangnya. Mungkin sebilah pisau, mungkin senjata api. Aku bersiap dengan kemungkinan kedua, senjata api. Aku harus menghindari Sam dan menyerang Iwan lebih dulu.

Aku tidak boleh salah langkah, ku hampiri mereka dengan kecepatan yang sama. Iwan tepat didepan ku, tangan kanannya menyerang dari sebelah kiri, ku tangkis serangannya. Aku merapat ke tubuhnya, memegang kedua bahunya. Seperti dugaanku, Iwan mengeluarkan sebuah senjata berjenis Revolver. Jaraknya cukup dekat, tangannya yg sudah terangkat memudahkan ku menendang senjatanya. Dibantu tekanan dari bahu Sam aku melompat mengarahkan kaki ku  ke senjata Iwan. Senjatanya terjatuh. Setelah menendang senjata Iwan aku langsung memutar posisi ku kebelakang Sam. Ku jatuhkan dia dengan menendang kedua bagian belakang lututnya. Sekarang sam sudah berlutut. Secepat mungkin, Aku berpindah kedepannya, seperti pasrah. Ku selesaikan perlawanannya dengan satu tendangan tepat di pelipis kirinya. Iwan yang sudah berbalik arah segera menyerangku dari belakang, aku mundur setengah langkah, mempersempit jarak, dan mengarahkan siku kanan ku di dadanya. Aku langsung membalikkan badan setelah itu. Iwan kesakitan, kedua tangannya menutup dadanya. Kali ini giliran tangan kanan ku menghantam dagunya. Sebelum terjatuh, aku berpindah posisi kesamping tubuhnya, memaksa posisinya kembali tegap dengan tendangan di leher bagian belakangan. Ku selesaikan pertarungan ini dengan satu tendangan berputar tepat di wajahnya. Mereka berdua terbaring tak berdaya, walaupun masih dalam keadaan sadar,  mereka sudah tak mampu lagi melanjutkan pertarungan.  Aku berdiri di depan Iwan. "Mana Risko?" tanya ku. Iwan yg kesakitan malah tersenyum, mencoba tertawa. "Kenapa kau tersenyum?"

Belum sempat menjawab pertanyaan ku, suara tembakan terdengar dari belakang. Aku berlutut dengan kaki kanan. Ku pegangi bahu ku, berdarah.
Revolver milik Iwan tidak terlalu jauh dari ku. Ku urungkan niat mengambilnya, aku sudah bersumpah untuk bertarung tanpa senjata. Sebagai laki-laki pantang bagiku tidak memegang omongan.

Dengan sedikit kesakitan, aku berdiri melihat ke arah suara tembakan itu berasal. Seseorang yg  terlihat sedikit tua, badannya tidak sebesar 4 orang yg baru saja ku kalahkan. Dari jarak ku berdiri, aku masih bisa melihat wajahnya. RAMA.

3 tembakan mengarah ke  tubuh ku. Satu di bahu  kanan, satu di perut, satu lagi di bahu kiri. Senjata ku terjatuh diikuti dengan tubuh ku.
Aku masih sadar saat Rama berdiri diatas ku. Iwan dan Sam juga memaksakan diri untuk berdiri. Iwan mengambil kembali Revolvernya. Sambil berkata, diarahkan senjatanya ke kepala ku. "RISKO adalah kami berlima. Rama, Iwan, Sam, Key dan Obed. Rama adalah kakak tertua kami. Dan aku sudah tidak peduli kau siapa" suara tembakan membuat semuanya gelap. Aku mati sebagai jawara. Bukan karena berhasil mengalahkan 4 orang tanpa terkena pukulan sekali pun. Tapi karena aku mati tanpa mengingkari sumpah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cermin

" Tak ada kapoknya juga kau!" Seorang dari dalam cermin membentak ku. Wajahnya memerah, tegas, matanya membelalak, suaranya cukup buat wajah ku tertunduk takut. "apa yang kau cari? Ha? Dunia ini cuman visualisasi dari apa yg kau pikirkan, dunia ini fiktif. Njing!" dia tak berhenti mengoceh. "jika dunia ini fiktif, terus kamu itu apa?", pikir ku. Tak ada suara. "apa sudah selesai? apa dia sudah hilang?" ku angkat wajahku perlahan, dia mengikuti ku, selaras dengan gerakan ku. Ku usap rambut keriting yang sudah 6 bulan belum ku potong, dia pun begitu. Ku gerakan kepalaku, ku dekatkan wajah, mencoba menggodanya dengan senyum. Dia masih mengikuti ku. "ah akhirnya selesai" habis pikir, niat melebarkan senyum menjadi tawa, belum sedetik kemudian. Suara teriakan keluar dari dalam cermin, seolah amarahnya sudah ditahan lebih dari seabad. "Aaarrrrrrrrgghhhhhhhhhhhh........ Makhluk lemah macam apa kau ini? Kau kira aku tidak tau apa ya

Selamat Ulang Tahun (ditulis tgl 13 Agustus 2017)

Malam ini ditempat terakhir kami bertemu. Hampir sebulan yang lalu. Aku masih ingat wajahnya waktu itu, senyumnya, matanya, masih saja mempesona. Aku suka waktu dia memegang pena, aku suka melihat dia terlihat tidak nyaman make sepatu kantoran yang feminim itu. Waktu merubahnya sangat banyak. 2 bulan sebelumnya kami juga bertemu disini, di coffeeshop ini. pertemuan itu tidak kami rencanakan. Aku suka cara Tuhan menulis skenario ku dengannya, setidaknya sampai dia kebingungan menentukan pilihan. Waktu itu aku masih ingat, aku baru saja menuju parkiran coffeeshop ini bersiap untuk pulang. mata ku tertuju ke seberang jalan, sekitar 12 meter dari tempat ku berdiri. Aku tidak tau kenapa harus memandang sampai sejauh itu. Lampu merah baru saja berganti warna jadi hijau, diantara keramaian kendaraan yang lewat, aku melihatnya. Aku yakin sekali, itu dia. Sedetik kemudian, dia melihat ke arah ku. Andai saja malam tak segelap ini, aku pasti bisa dengan jelas melihat matanya. Aku tetap memut