Langsung ke konten utama

Cermin

"Tak ada kapoknya juga kau!" Seorang dari dalam cermin membentak ku.
Wajahnya memerah, tegas, matanya membelalak, suaranya cukup buat wajah ku tertunduk takut.
"apa yang kau cari? Ha? Dunia ini cuman visualisasi dari apa yg kau pikirkan, dunia ini fiktif. Njing!" dia tak berhenti mengoceh. "jika dunia ini fiktif, terus kamu itu apa?", pikir ku.

Tak ada suara. "apa sudah selesai? apa dia sudah hilang?" ku angkat wajahku perlahan, dia mengikuti ku, selaras dengan gerakan ku. Ku usap rambut keriting yang sudah 6 bulan belum ku potong, dia pun begitu.
Ku gerakan kepalaku, ku dekatkan wajah, mencoba menggodanya dengan senyum.

Dia masih mengikuti ku. "ah akhirnya selesai" habis pikir, niat melebarkan senyum menjadi tawa, belum sedetik kemudian.
Suara teriakan keluar dari dalam cermin, seolah amarahnya sudah ditahan lebih dari seabad. "Aaarrrrrrrrgghhhhhhhhhhhh........ Makhluk lemah macam apa kau ini? Kau kira aku tidak tau apa yang kau pikirkan? Ha? Kau itu aku... Bodoh!!!" aku mematung, seisi kamar ini gelap, aku hilang kesadaran.

Suara ketukan di pintu menyadarkan ku, kamar masih terasa gelap. Hanya sedikit cahaya dari lampu jalan yang masuk lewat fentilasi udara diatas jendela yg jarang ku buka, cahaya dari ruang tamu kos juga merayap lewat celah pintu kamar.

Adi, Motor mu masih diluar tuh, udah jam 11 malam, awas ilang" suara dari luar kamar mengiringi ketukan yg entah sudah berapa kali. Dalam kondisi yg mulai sadar saja ibu kos udah mengetuk pintu ini lebih dari 5 kali. "jam 11 malam?" aku dikagetkan dengan pikiran ku sendiri. Aku sudah tidak sadarkan diri lebih dari 6 jam.

Ini yang terlama semenjak bayangan itu mulai berbicara tahun lalu. Gangguan Identitas Disosiatif (GID) atau Kepribadian Ganda. Aku sendiri tidak tau, apa si Alter Ego ku yang tadi hanya muncul di cermin atau pernah di tempat lain. Yang jelas selama setahun ini, beberapa teman seperti menjauh. Sejauh ini yang bisa dikatakan masih sering ngobrol mungkin cuman ibu kos. Itu pun kalau ngingetin biaya sewa kos atau sepeda motor ku yg belum aku masukin ke parkiran.

Sedikit memaksakan diri, aku mulai bangkit dari kasur. Sejak pertama kali bayangan ku muncul, beberapa benda yang dapat membahayakan ku kalau-kalau aku jatuh tak sadarkan diri ku pindahkan diatas meja di pojok kamar. Kasur yang memang di sediakan oleh pemilik kos kurang cukup untuk menampung semua kemungkinan wilayah jatuh ku. Aku terpaksa menambah 1 kasur beberapa minggu kemudian.

Lampu kamar ku nyalakan, agak silau. Pintu ku buka, cahaya dari ruang tamu yang tidak seterang lampu kamar membantu mata ku beradaptasi lebih cepat dengan cahaya.

Ku turuni anak tangga, berlari kecil, lalu melompat melewati 3 anak tangga sekaligus. Kurang dari 5 menit motor sudah ku dorong masuk ke parkiran kos yang hanya cukup untuk menampung beberapa kendaraan ini.
Selesai memarkir motor, niat untuk kembali ke kamar terhenti akibat perut yg mulai minta jatah. Aku lupa, hanya segelas kopi dan beberapa batang rokok yang mengisi stamina ku seharian. Ini mungkin jadi salah satu alasan, kenapa aku kehilangan kesadaran lebih lama dari biasanya.

Warkop Biru yang berjarak 2 bangunan ini memang selalu buka. Di salah satu dinding terdapat grafiti sederhana bertuliskan 'Warkop Biru, Buka 25 Jam'. Aku tidak tau maksud dari  tulisan 'buka 25 jam' ini. Yang pasti warkop ini hanya memilih libur 2 hari dalam setahun. Masing-masing di hari pertama idul fitri dan  idul adha.

Cak Waras, penjaga  warkop memperhatikan ku saat datang. Pandangannya ku balas dengan teriakan kecil "mie goreng cak. Sama es teh!" Tidak butuh waktu lama. Diatas meja, pesananku diantarkan. Di warkop ini cuman ada aku dan beberapa pemuda yang kelihatannya sedang menikmati fasilitas Free wifi di warkop ini.

Walaupun dengan jari-jari bergetar yang dalam bahasa kesehatannya disebut Tremor, ku habiskan hidangan khas anak kos ini dengan terburu-buru, es teh ku teguk 2 kali. Perasaan ku tidak enak. Sesuatu akan terjadi.

Sebatang rokok yang masih tersisa di saku baju, ku bakar. "kok cepet, kelaparan ta?" Tak kuhiraukan pertanyaan cak waras saat membayar pesanan ku. Seluruh tubuh ku lemas, dengan kekuatan seadanya aku mencoba berjalan secepat yg ku bisa. Pandangan ku berkunang-kunang.

Masuk kamar, tubuh ku masih lemas. Bahkan untuk memadamkan lampu kamar, aku tidak berselera. Ku rebahkan badan. Pikiran ku melayang mundur ke beberapa tahun silam, sebelum kecelakaan tahun lalu, sebelum Alter Ego ku muncul seperti nyata, sebelum aku menjadi selemah karakterku yang sekarang, sebelum wanita itu pergi dengan kekasihnya.

Namanya Indri, saat masih bersamanya, semua yg aku mau pasti diturutinya. Tak ada alasan yg bisa aku terima jika aku memintanya datang, tak peduli hujan deras, tak peduli mantelnya rusak, tak peduli apapun.

Aku lupa sudah berapa kali memutus hubungan dengannya, tapi setiap aku memintanya kembali dia pasti mau. Waktu itu, sebagian Alter Ego ku dalam kendali ku.

Berulang kali ku putuskan hubungan. Terakhir 1 setengah tahun lalu, indri ku putuskan lagi. Karena ingin fokus kuliah, sudah 10 semester ku lewati tanpa kejelasan lulus kapan.

6 bulan setelahnya, aku butuh indri. Butuh dia menemani karena suatu masalah yg belum bisa aku atasi. Tapi karena egois, aku tidak pernah mau menghubunginya lebih dulu. Dia juga sudah bersama seseorang, tapi masih sering mencuri pandang setiap kali kami di satu tempat yg sama. Aku selalu tau itu. Aku tau dia masih ingin bersama ku.

Harapan ku agar dia menghubungi ku tak pernah terjadi. Sampai suatu pagi, kecelakaan itu terjadi.

Karena terlambat bangun akibat kebiasaan begadang dan ada jadwal kuliah penting yg sudah terlewat beberapa menit, aku memacu sepeda motor ku lebih cepat dari biasanya. Dua, tiga mobil ku salip. Memasuki jalan 2 arah yg tergolong sempit, aku mencoba menyalip satu mobil lagi. Sebuah truk dari arah berlawanan menyambut ku dengan suara klakson panjang. Kaget, panik, mencoba menghindar diantara mobil dan truk. Tangan kiri ku menyenggol spion mobil disebelah ku.  Aku kehilangan keseimbangan, arah motor berubah ke arah sisi kanan mobil, ban belakang ku dihajar truk, aku dan motor ku terpelanting, kecelakaan tidak terhindar. Wajah ku basah dengan darah, aku tak sadarkan diri setelahnya.

Sebulan di rumah sakit, perasaan ku berubah. Aku seperti jadi orang lain, aku seperti bukan adi. Aku punya rasa takut yg tak beralasan. Aku takut, itu saja. Aku mau indri kembali.

Beberapa kali mencoba menghubunginya, memintanya datang saat aku sudah diijinkan pulang ke kos. Indri tak pernah datang, aku tak bisa marah, aku tak bisa membentaknya. Dulu cara itu selalu berhasil.

Kali ini aku lebih mirip seorang pengemis yg meminta cintanya kembali. Pesan yg berisi permohonan, permintaan, menceritakan masalah ku, menceritakan kondisi ku, semakin menyedihkan cara ku memintanya datang, semakin jauh rasanya dia dari ku. Saat itulah, seorang itu mulai berbicara dari dalam cermin. Sosok ku yg dulu, jadi bayangan yg kerjaannya cuman marah-marah atas semua sikap ku yg memalukan. Yang mau-maunya mengemis perasaan.

Aku benci aku yg sekarang, aku terlalu penakut. Aku ingin seperti dulu lagi. Tapi aku takut. Bahkan menatap wajah ku di hadapan cermin, tak berani. Tapi hari ini, semua harus selesai. Hari ini aku harus jadi yang dulu lagi, aku harus mengalahkan bayangan ku sendiri. Dia harus mau menuruti ku. Dia harus dalam kendali ku.

Ku paksakan badan ku yang lemas untuk bangun menantang diriku sendiri. Sedikit terseok, ku hadapkan wajah ku ke depan cermin. Dia melototiku. "sudah berani ya sekarang, sini biar tubuh itu aku yg kendaliin" ku coba untuk tidak terpengaruh oleh kata2 nya. Aku harus berani menjawabnya sekarang. "tidak.. Kau yg harus mengikuti mau ku sekarang, sebagian dirimu harus kembali padaku" atau kau hilang selamanya.

Dia tertawa, sperti orang gila "hahahah... Silahkan saja kalau kau bisa. Orang penakut macam kau bisa apa? Ayo, apa yg mau kau lakukan? Tidak tau malu, laki-laki apa yg mau mengemis pada seorang wanita? Dari dulu, dari nenek moyang mu, wanita lah yg harus ikut maunya laki-laki. Kau malah sebaliknya. Bodoh, pengecut, kau tidak pantas hidup". Emosi ku naik, kedua tangan ku, ku kepal. Hari ini semuanya harus tuntas. Dengan seluruh tenaga yg ku punya, amarah ku maksimal kan. Demi wanita itu, aku harus mengalahkan diriku sendiri. Ku angkat tangan kanan ku setinggi telinga, mengumpulkan semua emosi disana.

Ku arahkan pukulan ku ke wajah di cermin, seluruh tenaga yg ku punya terlampiaskan di pukulan pertama. Suara kaca pecah memenuhi kamar. Alter Ego ku masih tertawa terbahak - bahak. Emosi ku kembali naik, lalu pukulan beruntun dengan kedua tangan ku arahkan hampir diseluruh bagian cermin yang besarnya bisa merefleksikan hampir seluruh tubuh ku.

Entah sudah berapa pukulan, luka di tangan ku semakin membesar. Darah memenuhi hampir diseluruh dinding, kasur, dan lantai kamar. Tersisa hanya beberapa bagian kaca lagi. Tenaga terakhir ku, ku kumpulkan di kepala. Ku arahkan kepalaku pada bagian cermin yang paling besar, "prak". Seluruh kaca jatuh ke lantai bersama ku.

Bekas luka di dahi akibat kecelakaan tahun lalu terbuka lebar, darah mengucur di seluruh wajah, leher dan kemeja lengan pendek putih yang ku gunakan. Sunyi sejenak, tak ada suara apa-apa. Tiba2 dari sisa kaca yg berukuran  jari  orang dewasa terdengar tawa, ku ambil bagian itu. Menatap bayanganku dalam-dalam.

Tatapan ku seperti kehilangan harapan, tawanya mulai berkurang, wajahnya mulai ketakutan. Dia tau apa yang aku pikirkan. "jika aku tak bisa mengendalikan mu, kau pun tak boleh mengendalikan ku". Ku angkat setinggi mungkin bagian kaca di tanganku. Ku arahkan ujungnya ke bawah, lurus menghadap perut. Ku jatuhkan tangan ku sekuat yg kubisa. Darah segar keluar seiring ku tarik kembali bagian kaca itu, lalu menusukkannya berulang kali. Semuanya harus selesai hari ini. Aku tak sadarkan diri.

Sebulan setelahnya, Cak waras dapat jatah jaga pagi hari ini. Koran Kota baru datang, seperti biasa, dia jadi orang pertama yang membacanya terlebih dahulu sebelum di letakkan di meja pengunjung.

Wajahnya bingung, kaget, sedih, emosinya campur aduk membaca Headline Koran pagi Itu:
"Seorang Pasien Rumah Sakit Umum Surabaya Menghilang Setelah Dirawat Sebulan Akibat Percobaan Bunuh Diri"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jawara

Aku tidak pernah kalah, aku benci kalah. Aku tidak boleh lari. Mereka cuman berlima. Sebelum ini aku pernah menjatuhkan 10 orang tanpa terkena pukulan sekali pun. Walaupun fisik dan kemampuan mereka tidak sepadan jika dibanding 3 orang yang yang berdiri didepan ku sekarang. 2 orang lain, bisa ku bilang tidak masuk hitungan, dari cara berdirinya terlihat jelas cuman sekedar petarung jalanan, masih amatir, bagiku mereka berdua tidak lebih dari tukang palak di gang kecil. Salah satunya malah terlihat cukup tua, kakinya gemetaran memasang kuda-kuda. Aku heran kenapa Risko memilihnya menjadi anggota. Aku mengenal mereka semua, setidaknya dari desas-desus yang sampai ke telinga ku ditambah informasi yang ku dapat dari adik ku. Dia seorang polisi, semasa hidupnya, dia selalu menceritakan kasus yang sedang dia tangani. Tidak ada rahasia yg dia sembunyikan dari ku. Diantara mereka berlima, yang bertubuh paling besar namanya Key, orang nomor tiga yang paling berpengaruh di kelompoknya. Tinggin

Selamat Ulang Tahun (ditulis tgl 13 Agustus 2017)

Malam ini ditempat terakhir kami bertemu. Hampir sebulan yang lalu. Aku masih ingat wajahnya waktu itu, senyumnya, matanya, masih saja mempesona. Aku suka waktu dia memegang pena, aku suka melihat dia terlihat tidak nyaman make sepatu kantoran yang feminim itu. Waktu merubahnya sangat banyak. 2 bulan sebelumnya kami juga bertemu disini, di coffeeshop ini. pertemuan itu tidak kami rencanakan. Aku suka cara Tuhan menulis skenario ku dengannya, setidaknya sampai dia kebingungan menentukan pilihan. Waktu itu aku masih ingat, aku baru saja menuju parkiran coffeeshop ini bersiap untuk pulang. mata ku tertuju ke seberang jalan, sekitar 12 meter dari tempat ku berdiri. Aku tidak tau kenapa harus memandang sampai sejauh itu. Lampu merah baru saja berganti warna jadi hijau, diantara keramaian kendaraan yang lewat, aku melihatnya. Aku yakin sekali, itu dia. Sedetik kemudian, dia melihat ke arah ku. Andai saja malam tak segelap ini, aku pasti bisa dengan jelas melihat matanya. Aku tetap memut